OPINI, Hariansriwijaya.com – Siapa di sini yang tidak pernah merasa risih dengan keberadaan tukang parkir liar? Hampir setiap sudut kota, mulai dari minimarket, restoran, pasar, hingga kafe, selalu ada sosok yang tiba-tiba muncul untuk ‘mengatur’ parkir kita—dan tentu saja, meminta uang sebagai imbalannya. Profesi ini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan urban di Indonesia. Namun, apakah keberadaan mereka benar-benar dibutuhkan atau justru menjadi parasit bagi para pelaku usaha dan konsumen?
Dilema 2.000 Rupiah yang Mengganggu
Sebagian besar dari kita mungkin tidak mempermasalahkan nominal yang harus dibayarkan—hanya sekitar Rp2.000. Namun, yang mengusik adalah cara mereka meminta uang. Tidak jarang, tukang parkir liar bersikap seperti pengemis, tetapi dengan sedikit paksaan terselubung. Jika pengemis bisa kita abaikan, tukang parkir liar justru menimbulkan rasa tidak enak ketika kita menolak memberi uang. Ada semacam tekanan psikologis yang membuat banyak orang lebih memilih untuk membayar daripada beradu argumen.
Di beberapa tempat, sudah ada papan pemberitahuan yang dengan jelas menyatakan bahwa parkir di lokasi tersebut gratis. Sayangnya, hal ini kerap diabaikan oleh tukang parkir liar yang tetap beroperasi seolah memiliki hak atas lahan tersebut. Bahkan, ada kasus di mana tukang parkir liar marah ketika tidak diberi uang, seolah-olah lahan tersebut benar-benar milik mereka. Hal ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat yang seharusnya bisa parkir dengan nyaman tanpa perlu dipungut biaya tambahan yang tidak resmi.
Dampak Negatif bagi Pelaku Usaha
Keberadaan tukang parkir liar tidak hanya mengganggu pengunjung, tetapi juga merugikan pelaku usaha, terutama usaha kecil dan menengah (UMKM). Ketika seseorang ingin berbelanja ke suatu toko, tetapi harus menghadapi tukang parkir liar, kemungkinan besar mereka akan mencari tempat lain yang lebih nyaman. Secara psikologis, banyak orang merasa enggan jika harus mengeluarkan uang tambahan tanpa mendapatkan manfaat yang jelas.
Dalam teori Social Exchange, manusia cenderung mempertimbangkan untung-rugi dalam setiap interaksi sosialnya. Jika mereka merasa tidak mendapatkan keuntungan dari membayar tukang parkir liar, mereka akan lebih memilih menghindari tempat tersebut. Ini bukan sekadar spekulasi—sudah ada penelitian yang menunjukkan bahwa kehadiran tukang parkir liar dapat menyebabkan penurunan pendapatan bagi pemilik usaha. Para pedagang kehilangan pelanggan, sementara tukang parkir liar tetap bisa berpindah tempat tanpa merasakan dampak langsungnya.
Tukang Parkir Liar: Pungli yang Dilegalkan?
Jika kita telaah lebih jauh, tukang parkir liar ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktik pungutan liar (pungli). Mereka meminta uang atas ‘jasa’ yang tidak pernah diminta oleh konsumen, tanpa adanya tanggung jawab yang jelas. Jika kendaraan kita hilang atau rusak di tempat parkir yang mereka ‘kelola’, apakah mereka mau bertanggung jawab? Tentu saja tidak.
Ironisnya, fenomena ini seolah dibiarkan terus berlangsung. Aparat penegak hukum sering kali tidak bertindak tegas terhadap tukang parkir liar, entah karena dianggap sebagai masalah kecil atau karena ada permainan di balik layar. Padahal, jika dibiarkan terus-menerus, praktik ini dapat semakin merajalela dan menghambat kenyamanan serta pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor.
Solusi untuk Mengatasi Maraknya Tukang Parkir Liar
Tidak dapat dipungkiri, beberapa tukang parkir memang benar-benar bekerja dengan baik dan membantu pengendara. Namun, hal ini harus dibedakan dengan tukang parkir liar yang hanya mencari keuntungan tanpa memberikan manfaat nyata. Berikut adalah beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasi permasalahan ini:
- Pemberlakuan Sistem Parkir Resmi
Pemerintah daerah harus lebih aktif dalam menerapkan sistem parkir resmi dengan tiket atau aplikasi digital. Dengan begitu, uang parkir benar-benar masuk ke kas daerah dan tidak ke kantong pribadi. - Penindakan Tegas terhadap Tukang Parkir Liar
Aparat penegak hukum perlu bertindak lebih tegas terhadap praktik parkir liar yang meresahkan. Jika dibiarkan, hal ini akan semakin mengakar dan sulit dihilangkan. - Edukasi Masyarakat
Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa membayar tukang parkir liar sama saja dengan mendukung praktik pungli. Jika tidak ada yang memberi, maka mereka pun akan kesulitan untuk terus beroperasi. - Pengelolaan Parkir oleh Swasta
Alternatif lain adalah menggandeng pihak swasta untuk mengelola parkir secara profesional, seperti yang telah diterapkan di beberapa pusat perbelanjaan besar. - Meningkatkan Kesadaran Hukum
Banyak orang masih merasa tidak enak jika menolak membayar tukang parkir liar. Padahal, kita berhak untuk tidak membayar jika parkir di tempat yang seharusnya gratis. Kesadaran hukum ini harus ditanamkan agar masyarakat lebih berani menolak pungutan liar.
Kesimpulan: Saatnya Bertindak!
Fenomena tukang parkir liar di Indonesia sudah berada dalam tahap darurat. Ini bukan sekadar masalah uang receh, tetapi juga menyangkut kenyamanan, keadilan, dan ekonomi masyarakat. Jika dibiarkan, praktik ini akan semakin mengakar dan semakin sulit untuk diatasi.
Masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum harus bersinergi untuk mencari solusi konkret. Jika sistem parkir dapat dikelola dengan lebih baik, semua pihak akan mendapatkan manfaatnya—pengendara lebih nyaman, pemilik usaha lebih tenang, dan pemasukan daerah pun meningkat. Sudah saatnya kita berkata tegas: cukup sudah, Indonesia harus bebas dari tukang parkir liar!
Penulis: Adjie Prasetyo