Jakarta, Hariansriwijaya.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya 17 poin dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dianggap bertolak belakang dengan tugas dan kewenangannya. Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, usai melakukan kajian mendalam bersama para ahli hukum.
“Kami mencatat setidaknya ada 17 poin penting yang perlu menjadi perhatian,” ujar Budi, Kamis (17/7/2025).
Tumpang Tindih Kewenangan dan Lex Specialis
Salah satu catatan utama KPK adalah keberlakuan Undang-Undang KPK sebagai hukum acara khusus yang berpotensi bertentangan dengan RUU KUHAP, terutama terkait Pasal 329 dan Pasal 330. KPK selama ini menjalankan tugas berdasarkan KUHAP, UU Tipikor, dan UU KPK yang telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai aturan lex specialis yang mengatur penyelidikan, penyidikan, serta penyadapan secara khusus.
“Kami menilai perlu penghapusan atau reformulasi Pasal 329 dan 330 agar tidak menimbulkan multitafsir dan potensi gugatan hukum,” jelas Budi.
Penyelidik KPK Tak Diakomodasi, Hak-hak KPK Terancam
Poin lainnya yang mendapat sorotan adalah ketidakhadiran penyelidik KPK dalam RUU KUHAP, yang hanya mengakomodasi penyelidik dari Polri dan mengawasi mereka. Padahal, KPK memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan penyelidik sesuai putusan MK.
Selain itu, dalam hal penetapan tersangka, penghentian penyidikan, pelimpahan berkas perkara, penggeledahan, penyitaan, hingga penyadapan, KPK menilai banyak ketentuan RUU KUHAP yang tidak sejalan dengan praktik dan kewenangan lembaga anti-korupsi ini.
“Kami minta agar pasal-pasal terkait pengaturan tersebut direformulasi agar sesuai dengan ketentuan UU KPK dan putusan MK,” kata Budi.
Perlindungan Saksi dan Penuntutan Wilayah Hukum Jadi Perhatian
KPK juga mengingatkan pentingnya perlindungan saksi dan pelapor yang selama ini juga menjadi tanggung jawab KPK, bukan hanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain itu, kewenangan penuntutan KPK di seluruh wilayah Indonesia juga harus diakomodasi secara jelas dalam RUU KUHAP.
“Reformulasi Pasal 55, Pasal 62, dan Pasal 60 sangat diperlukan agar hak dan kewenangan penuntut umum KPK diakui,” tutur Budi.
Surat Resmi Akan Disampaikan ke Presiden dan DPR
Menanggapi hasil kajian ini, KPK berencana menyampaikan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI sebagai masukan penting terkait RUU KUHAP.
“Kami berharap aspirasi ini menjadi bahan evaluasi agar regulasi yang dihasilkan tidak melemahkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi,” pungkas Budi.