Palembang, Hariansriwijaya.com – Di tengah geliat ekonomi digital dan maraknya transaksi nontunai, sebuah kajian ilmiah dari Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang justru menyoroti kembali warisan sistem moneter lokal yang nyaris terlupakan: pitis, koin kuno peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam.
Kajian yang digelar dalam forum Kajian Reboan pada Rabu (2/7/2025), memaparkan temuan penting dari disertasi Dr. Kemas A.R. Panji, M.Si, akademisi sejarah Islam yang baru saja meraih gelar doktor ke-272 di bidang Peradaban Islam. Ia mengangkat tema “Mata Uang Kesultanan Palembang Darussalam dalam Perspektif Sejarah,” yang mengungkap eksistensi pitis sebagai alat tukar resmi sejak abad ke-19.
Penelitiannya tidak berdiri sendiri. Temuan tersebut turut diperkuat oleh koleksi naskah klasik Palembang milik Ustaz Kemas H. Andi Syarifuddin, seorang ahli manuskrip tradisional. Kedua sumber itu—artefak koin dan teks kuno—saling mengonfirmasi bahwa sistem keuangan lokal sudah mapan jauh sebelum pendudukan kolonial Belanda.
“Dalam naskah Palembang, pitis disebut sebagai bagian dari hadiah kerajaan kepada panglima perang setelah kemenangan dalam Perang Menteng pada tahun 1819. Ini membuktikan bahwa pitis memiliki nilai bukan hanya ekonomi, tapi juga simbolik,” ungkap Dr. Kemas saat presentasi kajiannya.
Pitis: Lebih dari Sekadar Alat Transaksi
Pitis tidak hanya dipergunakan untuk aktivitas perdagangan, tapi juga berfungsi sebagai hadiah istana dan alat diplomasi internal. Dalam salah satu naskah, diceritakan Sultan Palembang membagikan pitis bersama pakaian kepada para panglima sebagai bentuk penghargaan atas jasa mereka dalam perang melawan Belanda.
Menariknya, jejak pitis juga tercatat dalam literatur asing. Seorang orientalis Inggris, William Marsden, dalam bukunya The History of Sumatra (1783), menyebutkan pitis sebagai alat tukar utama yang digunakan masyarakat Palembang dalam kegiatan ekonomi sehari-hari.
Sejarawan lokal Johan Hanafiah melalui bukunya Kuto Gawang juga mengaitkan pitis dengan sistem perdagangan lintas negara yang dimiliki Kesultanan Palembang pada masa jayanya. Pitis menjadi instrumen vital dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan memperkuat jejaring dagang internasional.
“Kesultanan saat itu telah menjalin hubungan dagang dengan berbagai pihak luar negeri. Peredaran pitis adalah bukti eksistensi sistem ekonomi yang mandiri dan terstruktur,” tambah Ustaz Kemas H. Andi Syarifuddin.
Dari Kajian Sejarah Menuju Potensi Ekonomi Kreatif
Tak hanya sebatas kajian akademik, diskusi juga berkembang ke arah implementasi pitis dalam sektor ekonomi kreatif. Guru Besar UIN Raden Fatah, Prof. Dr. Duski Ibrahim, M.Ag, yang hadir sebagai mentor, menyarankan agar pitis direproduksi sebagai cendera mata khas Palembang.
“Bayangkan jika wisatawan bisa membawa pulang replika pitis sebagai oleh-oleh. Ini akan menjadi simbol sejarah sekaligus mendukung geliat ekonomi lokal melalui sektor pariwisata,” ujar Prof. Duski kepada Hariansriwijaya.com.
Warisan Peradaban Lokal di Tengah Dunia Digital
Kajian ini menjadi pengingat bahwa sistem ekonomi tidak selalu bergantung pada skema global. Dalam konteks lokal seperti Kesultanan Palembang, pernah tumbuh sistem keuangan yang terorganisir dengan baik—terbukti lewat keberadaan pitis yang tercatat dalam artefak logam maupun teks kuno.
Di tengah dominasi transaksi digital, uang elektronik, hingga maraknya pinjaman daring, pitis mungkin hanya tinggal sejarah. Namun berkat riset-riset semacam ini, nilai historisnya kembali mengemuka sebagai bagian dari identitas dan peradaban yang tak boleh dilupakan.