Jakarta, Hariansriwijaya.com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berada di bawah tekanan pada perdagangan Kamis ini. Rupiah diperkirakan akan terus tertekan dan mendekati level 16.500 per dolar AS, dengan perhatian pasar yang tertuju pada perkembangan ekonomi di AS.
Pada awal perdagangan Kamis (27/6/2024), rupiah dibuka melemah sebesar 8 poin atau sekitar 0,05 persen, menjadi 16.421 per dolar AS dari posisi sebelumnya di 16.413 per dolar AS.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, pelemahan rupiah terjadi di tengah penantian rilis data produk domestik bruto (PDB) kuartal pertama 2024 dari Bank Sentral AS. “Selain mempertimbangkan pelemahan yen Jepang, pelaku pasar juga menantikan rilis data ekonomi AS, yakni PDB kuartal pertama 2024 final estimate dan klaim pengangguran yang akan dirilis malam ini,” ujar Josua, dikutip dari Antara.
Depresiasi yen Jepang, yang dipengaruhi oleh kekhawatiran berlanjutnya perbedaan suku bunga antara Jepang dan negara-negara lain, serta tren pelemahan yuan Tiongkok selama lima hari terakhir, juga memberikan tekanan tambahan pada rupiah. Kondisi ini membuat investor khawatir bahwa Kementerian Keuangan Jepang mungkin akan melakukan intervensi signifikan pada sesi perdagangan hari ini.
Dari sisi domestik, perdagangan obligasi Pemerintah Indonesia pada Rabu, 26 Juni 2024, menunjukkan volume yang beragam di tengah depresiasi rupiah. Volume perdagangan obligasi pemerintah tercatat sebesar Rp 18,58 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan volume perdagangan hari sebelumnya yang mencapai Rp 38,40 triliun.
Josua Pardede memproyeksikan bahwa pergerakan rupiah akan berada dalam kisaran 16.375 per dolar AS hingga 16.475 per dolar AS pada perdagangan hari ini. Hal ini mencerminkan ketidakpastian yang terus melingkupi pasar, baik dari sisi domestik maupun internasional.
Faktor Eksternal dan Domestik yang Mempengaruhi Rupiah
Kekhawatiran mengenai data ekonomi AS menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah. Rilis data PDB kuartal pertama 2024 dan data klaim pengangguran akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai kondisi ekonomi AS dan kebijakan moneter yang mungkin akan diambil oleh Federal Reserve. Jika data menunjukkan kekuatan ekonomi AS yang signifikan, maka kemungkinan besar suku bunga akan tetap tinggi, yang dapat memperburuk tekanan pada rupiah.
Selain itu, perbedaan suku bunga yang mencolok antara Jepang dan negara-negara lain juga menjadi perhatian utama. Yen Jepang yang terus melemah akibat perbedaan suku bunga ini dapat memicu intervensi dari pemerintah Jepang untuk menstabilkan mata uang mereka. Intervensi ini, pada gilirannya, dapat menambah volatilitas di pasar mata uang global dan mempengaruhi rupiah.
Di sisi domestik, depresiasi rupiah turut dipengaruhi oleh pergerakan obligasi pemerintah yang menunjukkan volume perdagangan yang lebih rendah. Ini mencerminkan kehati-hatian investor dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan domestik. Meskipun demikian, fundamental ekonomi Indonesia yang relatif stabil masih memberikan harapan bahwa tekanan terhadap rupiah dapat dikelola dengan baik.
Langkah-langkah Antisipatif
Dalam menghadapi tekanan yang berkelanjutan terhadap rupiah, berbagai langkah antisipatif perlu terus dilakukan oleh pemerintah dan otoritas moneter. Penguatan cadangan devisa, kebijakan fiskal yang proaktif, serta koordinasi dengan sektor perbankan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Selain itu, komunikasi yang efektif dengan pasar juga penting untuk mengurangi ketidakpastian dan menenangkan sentimen investor.
Ke depan, perkembangan di pasar global akan terus menjadi faktor penentu pergerakan rupiah. Oleh karena itu, perhatian yang seksama terhadap indikator ekonomi utama dan kebijakan moneter internasional sangat penting untuk menghadapi dinamika yang ada.
Dengan berbagai tantangan yang ada, penguatan koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal, serta upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik, diharapkan dapat membantu rupiah dalam menghadapi tekanan eksternal yang terus berlanjut.