Palembang, Hariansriwijaya.com — Ribuan siswa lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Palembang menghadapi risiko gagal melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA/SMK. Keterbatasan daya tampung sekolah dan sistem Penerimaan Siswa Murid Baru (SPMB) 2025 menjadi sorotan utama dalam aksi unjuk rasa yang digelar Koalisi Pemerhati Pendidikan Sumatera Selatan di Kantor Gubernur Sumsel, Rabu (30/7/2025).
Dalam aksi tersebut, massa pendemo membawa simbol keranda mayat sebagai bentuk protes keras atas dianggapnya terhambatnya akses pendidikan yang merupakan hak dasar anak-anak di Palembang.
Koordinator aksi, Aan Pirang, menyatakan bahwa saat ini sekitar 7.000 siswa lulusan SMP tidak mendapatkan tempat di SMA maupun SMK manapun. “Jumlah lulusan SMP mencapai sekitar 28.500 siswa, sementara daya tampung SMA/SMK Negeri hanya sekitar 13.000 siswa. Sekolah swasta pun hampir penuh dengan kapasitas sekitar 18.000 siswa,” jelas Aan.
Aan menilai sistem zonasi yang diterapkan, pembatasan jumlah kelas per sekolah, dan dugaan manipulasi kuota menjadi penyebab utama banyak siswa tertolak masuk sekolah. “Ada indikasi penyalahgunaan wewenang oleh oknum di Dinas Pendidikan Sumsel dan pihak sekolah,” tambahnya.
Koalisi tersebut menuntut agar Gubernur Sumatera Selatan, Kepala Dinas Pendidikan, serta seluruh kepala sekolah negeri di Palembang bertanggung jawab atas kondisi tersebut. Mereka juga meminta pencabutan Peraturan Gubernur Nomor 86 Tahun 2025 yang membatasi rombongan belajar (rombel) maksimal 12 kelas per sekolah.
“Kami minta agar diberikan pengecualian kepada sekolah negeri di Palembang agar dapat menambah kuota siswa per kelas hingga maksimal 50 orang,” tegas Aan.
Koalisi menegaskan, solusi yang dibutuhkan saat ini adalah langkah konkret dan darurat dari pemerintah daerah. “Kota Palembang butuh tindakan nyata, bukan sekadar jawaban normatif. Pemerintah harus hadir di tengah persoalan ini, jangan sampai membiarkan ribuan anak putus sekolah,” pungkasnya.