Jakarta, Hariansriwijaya.com – Fenomena baru tengah mengguncang dunia fashion dan media sosial. Sejumlah video viral yang berasal dari pengguna TikTok di China mendadak ramai diperbincangkan karena mengklaim menjual barang bermerek kelas dunia seperti Lululemon dan Louis Vuitton langsung dari pabrik dengan harga sangat murah. Video-video ini bahkan telah menyebar ke platform lain seperti X (sebelumnya Twitter), menimbulkan perdebatan dan kekhawatiran di kalangan konsumen global.
Dalam salah satu video yang dilansir The Independent, seorang pengguna TikTok mengklaim bisa menjual celana yoga dari produsen Lululemon seharga hanya US$5-6, atau setara Rp 84 ribu hingga Rp 100 ribuan. Harga ini terpaut jauh dari harga resmi di Amerika Serikat yang mencapai US$100 atau sekitar Rp 1,68 juta.
Klaim Mencengangkan dari Pabrikan Lokal
Dikutip dari laman inca berita, Para pembuat video mengklaim bahwa mereka mendapat barang langsung dari pabrik yang memproduksi untuk merek-merek besar dunia. Tak hanya Lululemon, nama besar seperti Louis Vuitton juga ikut terseret dalam pusaran isu ini. Video-video tersebut seolah memberikan “jalan pintas” kepada pembeli global untuk mendapatkan produk berkualitas tinggi tanpa harus membayar mahal.
Namun, pernyataan tersebut segera menuai bantahan. Louis Vuitton secara resmi membantah bahwa mereka memproduksi barangnya di China. Sementara itu, juru bicara Lululemon menegaskan bahwa hanya sekitar 3% dari total produksi barang jadi mereka yang berasal dari China.
Upaya Rebranding atau Penipuan Terselubung?
Sejumlah ahli menyatakan bahwa tren video semacam ini bisa jadi merupakan strategi terselubung dari para produsen tiruan untuk menyamakan diri dengan produsen barang bermerek.
“Mereka mencoba menyamakan produsen palsu di China dengan produsen asli,” ujar Conrad Quilty-Harper, penulis buku Dark Luxury, seperti dikutip The Independent, Rabu (16/4/2025).
Menurutnya, situasi ini sangat rentan menyesatkan konsumen, apalagi jika tampilan produk tiruan memang menyerupai aslinya. Konsumen yang tergiur harga murah bisa saja tidak menyadari bahwa mereka membeli barang tiruan berkualitas rendah, namun diklaim seolah-olah dari “pabrik resmi”.
Perang Dagang AS-China: Api di Balik Asap
Menariknya, kemunculan video-video ini tidak bisa dilepaskan dari eskalasi terbaru dalam perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Awal April 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor baru untuk berbagai negara, termasuk China. Beijing tak tinggal diam—China membalas dengan menaikkan tarif terhadap barang-barang dari Amerika.
Kini, barang dari China dikenai tarif hingga 145% oleh AS, sementara China mengenakan tarif 125% untuk produk asal Negeri Paman Sam. Perang tarif ini menciptakan ketegangan politik dan ekonomi yang merembet hingga ke ranah sosial digital.
Beberapa analis menduga bahwa video TikTok tersebut bisa saja bagian dari “perang opini” di tengah perseteruan dagang dua negara raksasa ekonomi dunia itu.
Banjir Like, Tapi Sarat Kontroversi
Tak dapat dipungkiri, video-video tersebut dengan cepat meraup jutaan views dan like. Banyak warganet tergoda untuk membeli barang-barang “mewah” itu, sebagian bahkan sudah menunjukkan unboxing atau review mereka. Namun tak sedikit pula yang mencurigai bahwa barang-barang tersebut adalah replika alias barang palsu.
Konsumen global kini menghadapi dilema: apakah percaya pada harga fantastis yang ditawarkan, atau tetap setia membeli produk dari gerai resmi demi kepastian kualitas dan keaslian.
Regulasi dan Perlindungan Konsumen Diuji
Fenomena ini kembali menyorot pentingnya regulasi dan perlindungan konsumen dalam menghadapi arus globalisasi dan digitalisasi perdagangan. Perdagangan lintas negara kini sangat mudah dilakukan hanya dengan satu klik, namun jaminan kualitas dan transparansi masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Para ahli hukum internasional mendesak platform digital seperti TikTok dan X untuk lebih aktif menyaring konten yang berpotensi menyesatkan atau mendukung praktik perdagangan barang palsu.
Kesimpulan: Fenomena Viral atau Alarm Global?
Meski belum terbukti seluruhnya benar atau salah, fenomena ini menjadi cermin bagaimana media sosial mampu membentuk persepsi, memicu ketertarikan pasar, bahkan menciptakan dinamika baru dalam konflik dagang antarnegara. Apa yang awalnya tampak sebagai “jalan pintas belanja hemat”, bisa saja menjadi perangkap bagi mereka yang tak waspada.
Untuk saat ini, para pembeli global diimbau agar tetap berhati-hati dan kritis terhadap tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan—terutama jika menyangkut merek-merek premium dunia