Badung, Hariansriwijaya.com — Meskipun Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tengah memicu perdebatan dan penolakan di berbagai kota di Indonesia, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa dampak sentimen politik domestik terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kini relatif minim. Menurut BI, pengaruh politik pada kurs rupiah sudah tidak sebesar pada masa-masa sebelumnya, seperti pada periode Reformasi 1998.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, menjelaskan bahwa meskipun sentimen politik domestik tetap memiliki dampak terhadap pergerakan kurs rupiah, pengaruh tersebut sudah jauh berkurang dibandingkan dengan masa lalu. Erwin mengingatkan bahwa pada era Reformasi 1998, kurs rupiah sangat rentan terhadap gejolak politik dalam negeri, yang menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang signifikan.
Namun, Erwin menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini telah mengalami penguatan yang signifikan dibandingkan dengan kondisi pada awal Reformasi. Perbaikan dalam berbagai aspek ekonomi, seperti stabilitas moneter, pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, dan kebijakan fiskal yang lebih disiplin, telah memberikan fondasi yang lebih kokoh bagi rupiah dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk dinamika politik.
“Dulu, pada masa Reformasi 1998, kita melihat bagaimana peristiwa politik domestik bisa mengguncang nilai tukar rupiah dengan sangat cepat. Namun, saat ini, meskipun ada faktor politik yang berperan, pengaruhnya tidak sebesar itu. Fundamental ekonomi kita telah jauh lebih kuat, dan ini menjadi faktor yang lebih dominan dalam menentukan pergerakan kurs,” kata Erwin dalam sebuah forum Pelatihan Wartawan Bank Indonesia di Badung, Bali, pada Minggu (25/8/2024).
Lebih lanjut, Erwin menjelaskan bahwa baik investor global maupun lokal kini lebih fokus pada faktor-faktor ekonomi daripada politik dalam mengambil keputusan investasi mereka. Stabilitas ekonomi, prospek pertumbuhan, dan kebijakan ekonomi makro yang konsisten dianggap lebih penting oleh pelaku pasar dibandingkan dengan dinamika politik yang bersifat sementara.
Menurut Erwin, penguatan ekonomi Indonesia terlihat dari berbagai indikator, termasuk cadangan devisa yang memadai, inflasi yang terkendali, serta pertumbuhan ekonomi yang solid. Faktor-faktor ini memberikan kepercayaan lebih kepada investor bahwa ekonomi Indonesia mampu bertahan dan bahkan berkembang di tengah ketidakpastian politik.
Meski demikian, Erwin tidak menampik bahwa sentimen politik masih memiliki potensi untuk mempengaruhi pasar keuangan, termasuk nilai tukar rupiah. Namun, dengan kondisi ekonomi yang lebih baik, dampak dari sentimen politik tersebut cenderung lebih terbatas.
“Faktor-faktor politik masih ada, dan tentu saja kita tidak bisa sepenuhnya mengabaikan dampaknya. Namun, karena faktor ekonomi yang lebih kuat, efeknya tidak sebesar dulu. Ini menunjukkan bahwa perekonomian kita sudah berada di jalur yang lebih stabil dan resilient,” tambah Erwin.
Pernyataan ini datang di tengah kekhawatiran pasar atas dinamika politik yang dipicu oleh RUU Pilkada, yang dinilai oleh beberapa kalangan sebagai potensi untuk menimbulkan ketidakpastian di sektor ekonomi. Namun, BI tetap optimis bahwa ekonomi Indonesia akan tetap stabil, dengan kurs rupiah yang relatif terjaga berkat fondasi ekonomi yang kuat.
Dengan demikian, meski isu politik terkait RUU Pilkada terus berkembang, BI menilai bahwa fokus utama pasar dan investor akan tetap pada fundamental ekonomi, yang saat ini berada pada kondisi yang lebih sehat dan tangguh. Ini diharapkan dapat menjaga stabilitas rupiah di tengah tantangan yang ada.