Jakarta, Hariansriwijaya.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar proses peradilan. Korban kekerasan seksual juga berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen-PPPA, Nahar, menyampaikan hal tersebut menanggapi kasus pemerkosaan yang melibatkan dua kakak beradik berinisial KSH (16) dan DSA (15) di Purworejo, Jawa Tengah. Nahar menegaskan bahwa, sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, tindak pidana kekerasan seksual harus diselesaikan melalui jalur hukum dan tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar pengadilan.
“Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan. Korban juga berhak mendapatkan restitusi serta layanan pemulihan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30,” ungkap Nahar di Jakarta, Jumat (8/11).
Kemen-PPPA juga memastikan bahwa proses hukum terhadap para pelaku kekerasan seksual yang menimpa kedua korban tersebut terus diawasi dengan ketat. Nahar menyebutkan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Tengah, UPTD PPA Purworejo, serta aparat kepolisian dalam penanganan kasus ini.
“Kemen-PPPA telah melakukan koordinasi dengan UPTD PPA dan aparat kepolisian untuk memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan, pendampingan hukum, serta pemulihan psikologis yang sesuai. Kami juga memastikan bahwa hak-hak korban akan terpenuhi selama proses hukum berlangsung,” kata Nahar.
Selain itu, Nahar menyatakan dukungannya terhadap proses penyidikan yang sedang dilakukan oleh kepolisian. Ia menambahkan, pelaku dalam kasus ini dapat dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, yakni Pasal 76D juncto Pasal 81 dan/atau Pasal 76E juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur tentang ancaman pidana hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar.
Lebih lanjut, Nahar menjelaskan bahwa selain ancaman pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, pelaku juga dapat dikenakan sanksi tambahan berupa pengumuman identitas sesuai dengan Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, kecuali jika pelaku merupakan anak yang berkonflik dengan hukum.
Lebih lanjut, para pelaku juga bisa dikenakan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, di mana mereka yang terbukti melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul terhadap anak dapat dipidana hingga 12 tahun penjara atau denda paling banyak Rp300 juta.
Kasus ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan yang maksimal terhadap korban kekerasan seksual, khususnya anak-anak, dan untuk memastikan bahwa pelaku diadili sesuai dengan peraturan yang berlaku demi keadilan.
Dapatkan update Breaking news dan Berita pilihan kami langsung di ponselmu! Akses berita Berita Sumsel dan Nasional dari Hariansriwijaya.com dengan mudah melalui WhatsApp Channel kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaeFknTFy72E92mt3P35. Pastikan aplikasi WhatsApp-mu sudah terpasang ya!