Palembang, Hariansriwijaya.com — Kota Palembang kembali diterpa badai integritas. Setelah mantan Wakil Wali Kota Fitrianti Agustinda ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana hibah untuk Palang Merah Indonesia (PMI), kini giliran mantan Wali Kota Harnojoyo yang resmi menyandang status tersangka. Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Pasar Cinde, proyek yang sebelumnya digadang-gadang sebagai simbol kemajuan kota.
Kedua tokoh ini pernah menjadi ikon kepemimpinan Palembang dalam dua periode, mengusung visi besar melalui jargon “Palembang EMAS Darussalam”. Namun kenyataannya, slogan tersebut kini justru berubah menjadi simbol kegagalan moral dan keruntuhan tata kelola pemerintahan.
Gubernur Sumsel dan aparat penegak hukum belum memberikan pernyataan rinci mengenai langkah selanjutnya, namun penetapan tersangka terhadap Harnojoyo menandai fase baru dalam penegakan hukum terhadap elite lokal.
Sorotan Kritis dari Pengamat dan Aktivis
Pengamat politik Sumatera Selatan, Bagindo Togar, menyebut bahwa kasus ini merupakan peringatan keras bagi masyarakat serta elite politik di daerah. Menurutnya, skandal yang menjerat dua tokoh utama Palembang bukan sekadar persoalan individu, melainkan refleksi dari rusaknya sistem kepemimpinan daerah yang minim akuntabilitas.
“Ini bukan hanya kasus hukum biasa. Kita sedang menyaksikan kegagalan struktural—dari lemahnya pengawasan internal, buruknya budaya birokrasi, hingga partai politik yang abai dalam membina kadernya,” kata Bagindo kepada Hariansriwijaya.com.
Ia menilai bahwa masyarakat kerap terlena dengan narasi pembangunan yang dibalut jargon menarik, namun mengabaikan transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.
Bagindo secara khusus menyoroti pembangunan Pasar Cinde sebagai contoh proyek yang sejak awal menyisakan banyak pertanyaan. Proses pembongkaran pasar tradisional yang bersejarah dilakukan tanpa kajian partisipatif yang memadai. Progres pembangunan pun molor, dan publik tidak pernah benar-benar mengetahui detail kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta.
“Poster dan baliho boleh megah, tapi di baliknya menyimpan derita masyarakat dan kerugian negara. Pembangunan yang ideal bukan seperti ini. Kota beradab lahir dari pemerintahan yang bersih,” tegasnya.
Lebih jauh, ia juga mengkritik lemahnya peran partai politik yang seharusnya berfungsi sebagai filter calon pemimpin. Ia menekankan pentingnya kemampuan memahami etika birokrasi dan peraturan pemerintahan, bukan hanya keahlian politik elektoral.
“Kalau partai hanya berorientasi pada kemenangan, bukan kualitas dan rekam jejak, maka hasilnya adalah pemimpin yang membawa daerah menuju krisis kepercayaan seperti ini,” imbuhnya.
Pelanggaran Kepercayaan Publik
Senada dengan Bagindo, Direktur Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi, menyebut bahwa kasus korupsi yang menyeret Harnojoyo dan Fitrianti adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan warga Palembang.
“Dua tokoh ini dulunya simbol harapan. Tapi kini terbukti bahwa kepemimpinan mereka berjalan tertutup, elitis, dan jauh dari prinsip keterbukaan,” ujar Rahmat.
Ia menyebut proyek Pasar Cinde sebagai gambaran paling konkret dari tata kelola yang bermasalah. Pasar yang dahulu menjadi ruang ekonomi rakyat dan bagian dari sejarah kota dibongkar atas nama modernisasi, namun hasilnya justru proyek mangkrak dan dugaan penyelewengan dana.
“Yang dirugikan bukan hanya keuangan negara, tapi juga warga kota yang kehilangan ruang usaha dan nilai historis. Ini bukti bahwa pembangunan yang tidak partisipatif justru menimbulkan luka,” tegasnya.
Rahmat juga menyoroti peran institusi pengawasan, mulai dari DPRD, inspektorat daerah, hingga lembaga penegak hukum, yang dinilainya tidak sigap dan cenderung membiarkan potensi pelanggaran sejak awal.
“Ini bukan sekadar kesalahan dua orang. Tapi menunjukkan ada sistem kekuasaan yang ikut menikmati dan membiarkan pelanggaran terjadi. Perlu pembenahan total agar sejarah ini tidak terulang,” pungkasnya.