Lampung, HarianSriwijaya.com – Harga singkong per kg dari petani di Provinsi Lampung akhirnya dipastikan tidak boleh berada di bawah Rp900. Langkah ini diambil Pemerintah Provinsi Lampung untuk menjamin stabilitas harga singkong dan melindungi petani dari tekanan harga yang merugikan.
Kebijakan tersebut didasarkan pada penegakan ulang Kesepakatan Mahan Agung yang telah ditetapkan pada tahun 2021. Pj Gubernur Lampung, Samsudin, menegaskan bahwa aturan ini mulai diberlakukan secara efektif sejak 1 Januari 2025.
“Kita tegaskan kembali kesepakatan harga dasar Rp900 per kg di lini gudang perusahaan dengan rafaksi maksimal 15 persen. Perusahaan yang tidak mematuhi aturan ini akan kami tindak tegas,” ujar Samsudin di Kantor Gubernur Lampung, Kamis (25/1/2025).
Rafaksi Masih Jadi Tantangan Utama
Meski harga singkong sudah ditetapkan, petani masih menghadapi tantangan lain, yakni penerapan rafaksi sebesar 15 persen. Rafaksi merupakan potongan hasil panen yang diberlakukan berdasarkan kualitas singkong, termasuk kandungan kadar air dan kotoran pada hasil panen.
Dengan adanya ketentuan rafaksi ini, petani kerap kali tidak bisa menikmati harga penuh Rp900 per kg. Bahkan, untuk singkong dengan kualitas rata-rata, hasil yang diterima petani diperkirakan masih di bawah harga dasar tersebut.
“Rafaksi ini memang perlu diperhatikan lebih serius. Jika kualitas singkong dari petani bisa ditingkatkan, harga yang diterima mereka bisa mencapai Rp1.100 hingga Rp1.200 per kg,” jelas Samsudin.
Produksi Singkong Lampung 2024 Diproyeksikan 7,5 Juta Ton
Pada tahun 2024, produksi singkong di Lampung diproyeksikan mencapai angka 7,5 juta ton. Angka ini meningkat dibandingkan produksi pada 2022 dan 2023 yang masing-masing tercatat sebesar 6,7 juta ton dan 7,1 juta ton.
Sebagian besar hasil panen singkong di Lampung digunakan untuk kebutuhan industri tapioka. Sementara itu, sekitar 10 persen dari total produksi dialokasikan untuk konsumsi masyarakat lokal.
Sentra produksi singkong terbesar di Lampung tersebar di berbagai kabupaten, seperti Lampung Utara, Lampung Timur, Tulang Bawang Barat, Tulang Bawang, dan Lampung Tengah. Kabupaten Lampung Tengah sendiri mencatat produksi lebih dari 1 juta ton per tahun, menjadikannya daerah penyumbang terbesar.
Komitmen Pemerintah: Tingkatkan Kualitas dan Atasi Masalah Perusahaan
Selain menegaskan harga dasar, Pemprov Lampung juga berkomitmen meningkatkan kualitas hasil panen singkong petani. Pemerintah akan mendorong penerapan teknologi pertanian modern serta memberikan pelatihan kepada petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas singkong.
Di sisi lain, pemerintah juga menyoroti keberadaan perusahaan tapioka yang terlalu terkonsentrasi di beberapa wilayah. Hal ini dinilai dapat menimbulkan ketidakseimbangan pasar dan menekan harga beli singkong dari petani.
“Pemberian izin baru untuk perusahaan tapioka perlu lebih selektif. Kami ingin memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi di Lampung benar-benar memberikan manfaat bagi petani, bukan sebaliknya,” tegas Samsudin.
Harapan Petani: Stabilitas Harga dan Dukungan Berkelanjutan
Kebijakan terbaru ini disambut baik oleh para petani singkong di Lampung. Mereka berharap harga singkong per kg dari petani bisa terus stabil, tanpa harus khawatir adanya potongan harga yang tidak masuk akal.
“Dengan harga yang layak, kami bisa lebih tenang untuk mengelola lahan dan meningkatkan hasil panen. Semoga pemerintah juga terus mengawasi perusahaan agar aturan ini berjalan sesuai harapan,” ungkap Suyanto, seorang petani di Lampung Tengah.
Langkah Pemprov Lampung untuk menjaga stabilitas harga singkong ini diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang bagi sektor pertanian di provinsi tersebut. Dengan penataan yang lebih baik, kesejahteraan petani diharapkan semakin meningkat, sejalan dengan kontribusi singkong sebagai komoditas unggulan Lampung