OPINI, Hariansriwijaya.com – Mencari kerja di Indonesia ibarat berlari di treadmill: kita terus bergerak, tapi seolah tidak maju-maju. Persaingan yang ketat, jumlah angkatan kerja yang terus membengkak, dan upah yang stagnan membuat banyak orang merasa terjebak dalam lingkaran yang sulit diputus. Data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada tahun 2023, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 147,71 juta orang. Angka yang fantastis, bukan? Tapi, di balik angka tersebut, ada masalah besar yang sering kali luput dari perhatian: rendahnya upah pekerja di Indonesia.
Rata-rata gaji bulanan di Indonesia berkisar di angka Rp3 jutaan. Bahkan, di beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Upah Minimum Provinsi (UMP) hanya sekitar Rp2 juta. Ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan upah minimum terendah di dunia. Yang lebih miris lagi, lulusan S1 hingga S3 pun sering kali hanya dibayar di bawah Rp5 juta per bulan. Tidak heran jika banyak orang memilih untuk bekerja di luar negeri, meski harus meninggalkan keluarga dan tanah air.
Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan upah pekerja di Indonesia begitu rendah? Apakah ini hanya masalah ekonomi semata, atau ada faktor lain yang turut berkontribusi? Mari kita bahas lebih dalam.
1. Persaingan Kerja yang Tidak Seimbang
Pertama, mari kita lihat dari sisi persaingan. Dengan jumlah angkatan kerja yang mencapai hampir 150 juta orang, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan tentu sangat ketat. Setiap lowongan kerja yang dibuka bisa diincar oleh puluhan, bahkan ratusan pelamar. Dalam situasi seperti ini, perusahaan memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Mereka bisa menawarkan upah rendah karena tahu bahwa selalu ada orang yang bersedia menerimanya.
Bayangkan, jika ada 100 orang yang melamar untuk satu posisi, perusahaan tidak perlu menawarkan gaji tinggi untuk menarik minat pelamar. Mereka bisa memilih kandidat yang bersedia bekerja dengan upah minimal. Ini adalah hukum pasar: ketika supply (penawaran) lebih besar daripada demand (permintaan), harga (dalam hal ini upah) akan cenderung turun.
2. Ketidaksesuaian Keterampilan dengan Kebutuhan Industri
Masalah kedua yang sering kali luput dari perhatian adalah ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki oleh angkatan kerja dengan kebutuhan industri. Faktanya, sekitar 80% mahasiswa di Indonesia bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusan kuliah mereka. Ini menunjukkan bahwa banyak lulusan yang hanya mengandalkan teori dari bangku kuliah, tanpa memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan di dunia kerja.
Contoh sederhana: banyak kampus yang masih mengajarkan marketing konvensional, sementara industri saat ini sudah beralih ke digital marketing. Akibatnya, lulusan yang hanya menguasai teori marketing konvensional sering kali kesulitan bersaing di pasar kerja. Mereka tidak memiliki skill yang relevan dengan kebutuhan perusahaan, sehingga upah yang ditawarkan pun cenderung rendah.
Masalah ini tidak hanya terjadi pada lulusan perguruan tinggi, tetapi juga pada lulusan SMA atau SMP yang langsung terjun ke dunia kerja. Tanpa keterampilan khusus, mereka sering kali terjebak dalam pekerjaan dengan upah rendah, seperti pekerja lapangan, retail, atau pekerjaan serabutan.
3. Middle Income Trap: Jebakan Negara Berpenghasilan Menengah
Faktor ketiga yang tidak kalah penting adalah apa yang disebut sebagai middle income trap atau jebakan negara berpenghasilan menengah. Ini adalah kondisi di mana sebuah negara berhasil keluar dari kemiskinan, tetapi sulit untuk menjadi negara maju. Indonesia adalah salah satu contohnya.
Di masa lalu, Indonesia bisa mengandalkan upah murah dan tenaga kerja melimpah untuk menarik investasi. Namun, seiring dengan naiknya pendapatan per kapita, upah murah ini tidak lagi cukup untuk bersaing dengan negara-negara lain yang masih menawarkan upah lebih rendah. Di sisi lain, Indonesia belum memiliki teknologi atau SDM yang cukup mumpuni untuk bersaing dengan negara-negara maju. Akibatnya, upah pekerja di Indonesia cenderung stagnan, sementara biaya hidup terus meningkat.
4. Daya Beli yang Rendah dan Dampaknya pada Ekonomi
Rendahnya upah pekerja tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga pada perekonomian secara keseluruhan. Ketika pekerja tidak mendapatkan penghasilan yang layak, daya beli masyarakat pun menurun. Mereka tidak mampu membeli barang atau jasa di luar kebutuhan pokok, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Ironisnya, di saat yang sama, laba perusahaan-perusahaan besar di Indonesia justru terus meningkat. Ini menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup besar antara pendapatan perusahaan dan upah yang diterima oleh pekerja. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin kesenjangan sosial akan semakin melebar.
Solusi
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah ini? Jawabannya adalah meningkatkan keterampilan. Di era digital seperti sekarang, skill yang dibutuhkan oleh industri terus berubah. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu yang diajarkan di bangku sekolah atau kuliah. Kita harus terus belajar dan meng-upgrade diri agar bisa bersaing di pasar kerja.
Contoh sederhana: seorang programmer bisa mendapatkan gaji puluhan juta rupiah per bulan, sementara seorang barista mungkin hanya mendapatkan Rp3-4 juta. Perbedaannya terletak pada value yang ditawarkan. Skill programming lebih dibutuhkan di era digital, sehingga upah yang ditawarkan pun lebih tinggi.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Ikuti pelatihan, kursus, atau sertifikasi yang bisa meningkatkan keterampilan kita. Jangan hanya mengandalkan ijazah, karena di dunia kerja, skill adalah segalanya.
Penutup
Rendahnya upah pekerja di Indonesia adalah masalah kompleks yang tidak bisa diselesaikan dalam semalam. Namun, dengan memahami akar masalahnya, kita bisa mulai mencari solusi. Mulailah dari diri sendiri dengan meningkatkan keterampilan dan adaptasi dengan perkembangan zaman. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mengambil langkah konkret, seperti memperbaiki sistem pendidikan dan menarik investasi yang bisa menciptakan lapangan kerja berkualitas.
Kita semua berharap bahwa suatu hari nanti, upah pekerja di Indonesia tidak lagi menjadi bahan perbincangan yang memprihatinkan. Tapi, untuk mencapai itu, kita semua harus bergerak bersama. Karena, seperti kata pepatah, “Tidak ada perubahan besar yang terjadi tanpa usaha yang besar pula.”
Penulis: Adjie Prasetyo