Jakarta, Hariansriwijaya.com – Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus merosot tajam. Sepanjang tahun 2024, Rupiah telah terdepresiasi sebesar 6%, berada di level Rp16.370 per dolar AS. Kenaikan nilai tukar dolar AS ini menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian Indonesia, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang dolar.
Perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang memiliki utang dalam dolar AS kini menghadapi beban keuangan yang semakin berat akibat selisih kurs. Beberapa sektor yang paling rentan terhadap pelemahan Rupiah meliputi consumer goods, otomotif, telekomunikasi, dan properti.
Sektor Consumer Goods
Salah satu perusahaan di sektor ini, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), memiliki utang dalam dolar AS yang signifikan. Pada 31 Maret 2024, utang usaha ICBP dalam dolar AS mencapai Rp345,6 miliar, utang bukan usaha Rp157,89 miliar, dan utang jangka panjang termasuk yang jatuh tempo dalam waktu satu tahun sebesar Rp43,59 triliun.
Selain itu, PT Mayora Indah Tbk (MYOR) juga memiliki utang dalam dolar AS untuk pembelian bahan baku sebesar Rp9,35 miliar per 31 Maret 2024.
Sektor Otomotif
Di sektor otomotif, PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) memiliki utang usaha dalam dolar AS yang cukup besar, yaitu Rp791 miliar per 31 Maret 2024. Kenaikan nilai tukar dolar AS memperberat beban perusahaan ini.
Sektor Telekomunikasi
PT XL Axiata Tbk (EXCL) memiliki utang dalam dolar AS sebesar Rp666,62 miliar per 31 Desember 2023. Meskipun pendapatan utama perusahaan dalam Rupiah, belanja modal utama dilakukan dalam dolar AS, membuat perusahaan sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
Sementara itu, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) juga memiliki utang dalam dolar AS untuk mendukung aktivitas operasionalnya. Total utang usaha Telkom dalam dolar AS tercatat sebesar Rp3,59 triliun per 31 Maret 2024.
Sektor Properti
Di sektor properti, PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) memiliki utang obligasi dalam dolar AS sebesar Rp3,6 triliun per 31 Maret 2024. Perusahaan ini menggunakan sebagian besar transaksi dalam Rupiah, namun eksposur terhadap mata uang asing tetap ada, terutama melalui utang obligasi yang dilindungi nilai dengan kebijakan hedging.
PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) juga memiliki utang dalam dolar AS. Pada 31 Maret 2024, utang usaha kepada pihak ketiga tercatat sebesar Rp1,76 miliar dan obligasi dalam dolar AS sebesar Rp94,96 miliar.
Selain itu, PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) memiliki utang obligasi dalam dolar AS sebesar Rp6,84 triliun per 31 Maret 2024, menambah daftar perusahaan yang terpengaruh oleh melemahnya Rupiah.
Kesimpulan
Pelemahan Rupiah terhadap dolar AS membawa dampak signifikan terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki utang dalam mata uang dolar. Dengan meningkatnya beban keuangan akibat selisih kurs, perusahaan-perusahaan ini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kinerja keuangan mereka. Upaya mitigasi seperti hedging menjadi sangat penting untuk mengelola risiko yang timbul dari fluktuasi nilai tukar ini. Investor dan pemangku kepentingan perlu memantau perkembangan ini dengan cermat untuk menilai dampak jangka panjang terhadap sektor-sektor yang terpapar utang dolar.
Dapatkan update Breaking news dan Berita pilihan kami langsung di ponselmu! Akses berita Berita Sumsel dan Nasional dari Hariansriwijaya.com dengan mudah melalui WhatsApp Channel kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaeFknTFy72E92mt3P35. Pastikan aplikasi WhatsApp-mu sudah terpasang ya!