Hariansriwijaya.com – Laut bukan hanya soal ombak dan pasir, tapi juga kepentingan—yang kadang lebih besar dari akal sehat. Pembuatan pagar laut di pesisir utara Tangerang adalah bukti nyata bagaimana negara bisa tunduk di hadapan kepentingan pengusaha. Alih-alih bertindak tegas sejak awal, pemerintah justru terkesan menutup mata, membiarkan tembok bambu ini membentang sejauh lebih dari 30 kilometer tanpa izin yang jelas.
Dari 400 Meter ke 30 Kilometer: Kemana Aparat?
Para nelayan di Tangerang sebenarnya sudah lama bersuara. Mei 2023, mereka melaporkan keberadaan pagar bambu ini ke Dinas Kelautan dan Perikanan Banten saat panjangnya baru 400 meter. Namun, alih-alih dihentikan, pagar ini justru terus tumbuh bak cendawan di musim hujan. Agustus 2023, panjangnya bertambah jadi 7 kilometer. Sebulan kemudian, laporan dari TNI Angkatan Laut dan Kepolisian Perairan menyebut pagar itu sudah mencapai 13,12 kilometer. Aneh, bukan? Semua pihak tahu, tapi tak ada tindakan nyata.
Lalu, saat pagar ini viral di media sosial dan panjangnya sudah lebih dari 30 kilometer, barulah para pejabat mendadak amnesia massal. Mereka mengaku tidak tahu asal-usul patok-patok bambu ini. Padahal, dengan teknologi dan perangkat organisasi yang dimiliki, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seharusnya bisa dengan mudah mendeteksi apa yang terjadi. Aksi pura-pura tidak tahu ini justru memunculkan kecurigaan: jangan-jangan, ada tangan-tangan tak kasatmata yang ikut bermain.
Negara Takluk di Hadapan Pengusaha?
Setelah cukup lama dibiarkan, barulah Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono mengakui bahwa pagar sepanjang 30,16 kilometer ini tak berizin, lalu menyegelnya. Lucunya, Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang ternyata sudah lebih dulu menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 300 hektar di atas laut. Jadi, apakah ini hanya kelalaian, atau memang ada skenario besar di baliknya?
Banyak yang menduga, pagar laut ini sebenarnya adalah tahap awal dari proyek reklamasi yang lebih besar. Seperti yang dilansir dari investigasi Tempo menemukan adanya surat dari sebuah kantor pengacara kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Banten pada 2023, lalu kepada KKP pada 2024. Surat ini menggunakan kop surat dari 16 desa di enam kecamatan, mengklaim bahwa ribuan hektar tanah di sana adalah tanah girik yang dulunya merupakan tambak dan budidaya. Padahal, citra satelit menunjukkan bahwa sejak dulu wilayah ini adalah daerah tangkapan ikan, bukan tambak. Dengan kata lain, ada indikasi manipulasi data demi kepentingan bisnis tertentu.
Oligarki yang Mengendalikan Negara
Jika kita bicara soal siapa yang diuntungkan dari semua ini, jawabannya mengarah ke oligarki. Keberadaan pagar laut ini beririsan dengan area pengembangan Pantai Indah Kapuk (PIK), yang dibangun oleh grup Agung Sedayu milik taipan Sugianto Kusuma alias Aguan. Di pesisir yang menghadap pagar laut tersebut, Agung Sedayu tengah mengembangkan PIK Tropical Coastland, proyek strategis nasional (PSN) yang ditetapkan oleh pemerintahan Joko Widodo pada Maret 2024.
Namun, pertanyaannya, apakah proyek ini benar-benar untuk kepentingan publik? Atau hanya proyek bagi-bagi kue untuk segelintir elite super kaya? Dengan status PSN, para pengembang seolah-olah mendapat legitimasi untuk mengakali aturan dan mengabaikan hak masyarakat setempat. Pemasangan pagar bambu ini jelas telah membatasi akses nelayan terhadap sumber penghidupan mereka, sebuah pelanggaran serius terhadap hak ekonomi dan sosial mereka.
Negara Harus Kembali Berdaulat
Pembangunan seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya demi keuntungan segelintir elite. Jika pagar laut di Tangerang dibiarkan menjadi preseden, bukan tidak mungkin di masa depan akan ada lebih banyak wilayah publik yang “diamankan” untuk kepentingan bisnis raksasa.
Sudah saatnya pemerintah menegaskan bahwa negara tidak bisa dikendalikan oleh oligarki. Regulasi harus ditegakkan, bukan hanya dijadikan formalitas di atas kertas. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan bagaimana hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Dan saat itu terjadi, rakyat hanya bisa bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang berkuasa di negeri ini?
Penulis: Adjie Prasetyo